Sabtu, 07 Februari 2009

SEJARAH LAHIRNYA I N T I F A D A H

Intifadah, yang berarti “pemberontakan” dalam Bahasa Arab, adalah nama untuk perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok orang Palestina, yang bersenjatakan batu-batu, melawan salah satu musuh terbesar dunia, yaitu orang yang menjawab lemparan batu itu dengan peluru, roket, dan rudal. Memang, mereka jarang sekali ragu-ragu menjadikan orang yang tidak pernah melempar batu sebagai sasaran mereka, bahkan mampu membunuh lusinan anak-anak dengan cara tak berperikemanusiaan.

Intifadah pertama memasuki panggung politik pada 1987, dimulai dengan pemuda Palestina yang membalas pembunuhan enam anak-anak Palestina oleh tentara-tentara Israel. Berlanjut hingga 1993, Intifadah menghadapi tanggapan yang sangat keras dari Israel, berdasar prinsip bahwa “kekerasan melahirkan kekerasan,” Timur Tengah kembali terjatuh ke dalam kekacauan. Sepanjang masa ini, perhatian dunia tertuju pada kasus anak-anak yang tempurung kepalanya pecah dan tangan-tangan mereka dipatahkan oleh para tentara Israel. Orang-orang Palestina, dari yang paling muda hingga yang paling tua, menentang kekerasan militer Israel dan penindasan dengan sambitan batu apa pun yang dapat mereka temukan. Sebagai balasannya, tentara Israel secara besar-besaran memberondongkan senjatanya: menyiksa, mematahkan tangan, dan menembaki lambung dan kepala orang-orang dengan tembakan senapan. Pada tahun 1989, sebanyak 13.000 anak-anak Palestina ditahan di penjara-penjara Israel.

Apa pun alasannya, memilih cara kekerasan tidak pernah memecahkan persoalan. Dan kembali, kenyataan penting harus dicamkan ketika merenungkan tanah tempat Intifadah terjadi. Pertama-tama, karena diperkuat oleh keputusan PBB, tentara Israel menggunakan kekuatan yang, sejalan dengan hukum internasional, seharusnya dijauhi. Meskipun sudah diperkuat aturan, jika Israel menuntut agar keberadaannya di tanah ini diterima, cara menunjukkannya tentu bukan dengan membunuh orang-orang tak berdosa. Karena semua orang yang waras pastilah sepakat, jika salah bagi orang-orang Palestina memilih kekerasan, maka pastilah juga salah bagi tentara-tentara Israel membunuh mereka. Setiap negara memiliki hak membela diri dan melindungi dirinya, namun apa yang telah terjadi di Palestina jauh dari sekedar membela diri.


Tentara pendudukan Israel menanggapi batu-batu dan ketapel remaja Palestina dengan senapan otomatis dan peluru tajam. Oleh karenanya setidaknya beberapa orang Palestina meninggal setiap hari.

Selama tahun-tahun Intifadah, sebuah peristiwa terjadi di desa Kristen Beit Sahour di dekat Bethlehem. Kejadian ini, yang disaksikan oleh penduduknya Norman Finkelstein, hanyalah satu dari banyak contoh yang tidak mendukung bahwa campur tangan militer didorong oleh keinginan membela diri:

Suatu kali di kamp pengungsian Jalazoun, anak-anak membakar ban ketika sebuah mobil menepi. "Pintu dibiarkan terbuka, dan empat pria (pemukim Israel maupun tentara berpakaian preman) melompat keluar, menembak membabi buta ke segala penjuru. Anak-anak di samping saya tertembak di punggungnya, peluru keluar dari pusarnya… Hari berikutnya Jerussalem Post melaporkan bahwa tentara itu menembak untuk membela diri."94

Intifadah rakyat Palestina, yang dilakukan dengan sambitan batu dan pentungan untuk melawan tentara paling modern di dunia, berhasil menarik perhatian internasional pada wilayah ini. Gambar-gambar yang intinya mengenai pembunuhan tentara Israel atas anak-anak berusia sekolah sekali lagi menunjukkan kebijakan teror pemerintah pendudukan. Masa ini berlanjut hingga Kesepakatan Oslo tahun 1993, ketika Israel dan PLO duduk bersama di meja perundingan. Pada pertemuan ini, Israel mengakui Yasser Arafat untuk pertama kalinya sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina.

Setelah Intifadah pertama mencapai puncaknya dalam kesepakatan damai, rakyat menunggu dengan sabar perdamaian dan keamanan kembali ke wilayah Palestina. Penantian ini berlanjut hingga Sepetember 2000, ketika Ariel Sharon, yang dikenal sebagai “Penjagal dari Libanon,” melakukan kunjungan yang menghebohkan ke Mesjid al-Aqsa bersama puluhan polisi Israel. Kejadian ini memicu bangkitnya Intifadah al-Aqsa.



Untuk menghentikan pertumpahan darah di Palestina, kedua pihak harus menghentikan kekerasan. Dan untuk mencapai perdamaian abadi, Israel harus menyudahi pendudukannya dan sepenuhnya menarik diri dari Daerah Pendudukan. Orang-orang Palestina harus diberi hak membangun negara merdekanya di atas tanahnya sendiri.

Rasa sakit dan penderitaan tak berujung orang-orang Palestina meningkat dengan adanya Intifadah al-Aqsa. Saat ini, tiap hari ada laporan yang menyebutkan anak-anak dan remaja meninggal di wilayah-wilayah Palestina. Semenjak awalnya di bulan September 2000 hingga Desember 2001, sebanyak 936 orang Palestina tewas (angka-angka ini bersumber dari Organisasi Kesehatan Palestina).95 Sepanjang pertikaian, satuan-satuan tentara Israel menjadikan banyak warga sipil, termasuk anak-anak yang pulang sekolah sasaran pengeboman dengan helikopter.


Tentara Israel menggunakan senjata mereka bukan untuk melucuti senjata anak-anak Palestina, melainkan untuk membantai dan membunuh mereka. Suleiman Abu Karsh, wakil menteri perdagangan Palestina, menyatakan perasaan rakyatnya mengenai Intifadah ini dalam sebuah wawancara:

Intifadah ini terlahir dari kekejaman Zionis Israel dan provokasi terhadap rakyat Palestina dan hal-hal yang kami anggap suci. Karena ikatan kuat rakyat Palestina terhadap tempat-tempat suci ini, khususnya Mesjid Aqsa, yang merupakan kiblat pertama Muslimin, mesjid mereka, dan salah satu titik pusat Haram asy-Syarif, Israel menunjukkan tindak kekejaman.96



Banyak anak-anak Palestina yang sedang ditahan hari ini di penjara-penjara Israel. Anak-anak yang ditahan dalam bentrokan menghadapi berbagai jenis penyiksaan, seperti digambarkan dalam laporan rinci berbagai lembaga hak azazi manusia. Akan tetapi, sebagian besar pemerintahan mengabaikan laporan ini.

Di Palestina, di mana 70% penduduk terdiri atas kalangan muda, bahkan anak-anak pun telah mengalami perpindahan, pengusiran, penahanan, pemenjaraan, dan pembantaian semenjak pendudukan tahun 1948. Mereka diperlakukan seperti warga kelas dua di tanahnya sendiri. Mereka telah belajar bertahan hidup dalam keadaan yang paling sulit. Renungkanlah fakta-fakta berikut ini: 29% dari orang yang terbunuh selama Intifadah al-Aqsa berusia di bawah 16 tahun; 60% dari yang terluka berusia di bawah 18; dan di wilayah tempat bentrokan paling sering terjadi, paling tidak lima anak terbunuh tiap hari, dan setidaknya 10 orang terluka.





Chris Hedges, yang bertindak selaku kepala biro Timur Tengah The Times selama bertahun-tahun, menyatakan bagaimana tentara Israel membunuh anak-anak Palestina tanpa ragu dalam sebuah wawancara:
Saya telah melihat anak-anak ditembak di Sarajevo. Maksud saya, penembak jitu akan menembaki anak-anak di Sarajevo. Saya telah melihat tentara kematian membunuh keluarga-keluarga di Aljazair atau El Salvador. Namun saya tak pernah melihat tentara melecehkan dan menelanjangi anak-anak seperti ini lalu membunuh mereka untuk kesenangan.” (Wawancara NPR dengan Chris Hedges)

Tentara Israel, yang menjadikan warga sipil dan anak-anak sebagai sasaran, tidak ragu menembak bahkan anak-anak yang tengah bermain di tempat bermain sekolah. Karena jam malam yang diberlakukan oleh Israel, dalam tahun itu mereka lebih sering tidak pergi ke sekolah. Ketika mereka bisa bersekolah, mereka menjadi sasaran serangan Israel. Salah satu serangan itu terjadi pada 15 Maret 2001. Sewaktu murid-murid Sekolah Dasar Ibrahimi di al-Khalil tengah bermain selama jam istirahat, tentara Israel menembaki mereka. Kejadian ini, ketika enam anak-anak terluka parah, bukan contoh yang pertama maupun terakhir tentang kekejaman semacam itu.97

Dalam The Palestine Chronicle, wartawan-penulis Ruth Anderson menggambarkan beberapa kejadian tak berperikemanusiaan dalam Intifadah al-Aqsa:

Tak ada yang menyebutkan seorang lelaki muda yang baru menikah yang pergi berdemonstrasi hanya untuk menjadi martir, meninggalkan pengantin wanitanya menjadi janda. Tak ada yang menyebutkan pemuda Palestina yang kepalanya diremukkan oleh orang Israel dan tangannya dipatahkan sebelum ia secara brutal dijagal. Tak ada yang menyebutkan seorang anak kecil berusia 8 tahun yang tertembak mati oleh tentara Israel. Tak ada yang mengatakan bagaimana para pemukim Yahudi, yang dilengkapi dengan berbagai jenis senjata dan disokong oleh pemerintah Barak, menyerang desa-desa Palestina dan mencabuti pohon-pohon zaitun dan membunuh orang-orang sipil Palestina. Tak ada yang menyebutkan bayi-bayi Palestina yang meninggal ketika rumah mereka dibom dengan serangan udara atau orang yang dihujani oleh peluru Israel ketika dipindahkan ke tempat aman. Setiap orang tahu bahwa bayi-bayi tidak bisa melempar batu. Setiap orang tahu kecuali orang-orang Israel dan Amerika.98

Intifadah al-Aqsa Merupakan Hasil Kerja Ariel Sharon

Untuk memahami kekerasan yang terus berlanjut di luar kendali pada bulan April 2001 dan membawa Israel dan Palestina mandi darah, kita harus ingat bagaimana Intifadah terakhir dimulai. Orang yang ada di pusat kejadian ini adalah Ariel Sharon, yang kemudian menjadi, dan masih menjadi perdana menteri. Sharon dikenal oleh orang-orang Islam sebagai seorang politisi yang gemar menggunakan kekerasan. Seluruh dunia mengenalnya karena pembantaian yang telah ia lakukan atas orang-orang Palestina, perilakunya yang suka menghasut, dan kata-kata kasarnya. Yang terbesar dari pembantaian-pembantaian itu terjadi 20 tahun yang lalu di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla, menyusul serangan Israel pada Juni 1982 ke Libanon. Dalam pembantaian ini, sekitar 2000 orang tak berdaya dibunuh, mengalami siksaan hebat, dan dibakar hidup-hidup. Tambahan lagi, banyak mayat yang dibakar atau dipotong-potong dan tak terungkap. Nama kedua yang akan kita temui di masa ini adalah Ehud Barak, yang saat itu komandan tentara Israel dan nantinya juga menjadi perdana menteri.